JOMBANG – Menteri Pertanian menekankan pentingnya program optimalisasi lahan untuk mendukung target swasembada, khususnya di daerah-daerah yang memiliki potensi tanam lebih dari dua kali dalam setahun.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) pun turut memperkuat pesan tersebut dengan ajakan kepada seluruh insan pertanian agar tak menyia-nyiakan sepetak pun lahan produktif, karena setiap jengkal tanah adalah aset bangsa.
Menjawab tantangan nasional ini, BBPP Ketindan bersama dengan Dinas Pertanian Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur, serta para penyuluh pertanian Kecamatan Tembelang melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi lokasi program optimalisasi lahan di Desa Balongombo dan Desa Kepuhdoko, Kabupaten Jombang, (30/4).
Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Kepala BBPP Ketindan, Nurul Qomariyah, yang hadir bersama para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Tembelang. Dalam kegiatan tersebut, kelompok tani di dua desa menyampaikan sambutan positif atas program optimalisasi lahan, yang rencananya akan dilengkapi dengan pembangunan sumur submersible dan rumah tandon air. Infrastruktur ini akan sangat membantu petani agar bisa menanam padi hingga tiga kali dalam setahun, sebuah langkah besar dalam peningkatan produktivitas dan swasembada pangan.
Meski antusias, kelompok tani juga mengutarakan kekhawatiran terhadap kendala klasik yang biasa muncul saat musim tanam ketiga, yaitu serangan hama tikus dan burung.
Menanggapi hal ini, Nurul Qomariyah menyampaikan sejumlah solusi konkret dan teruji. Untuk pengendalian tikus, Nurul menyarankan penerapan sistem gropyokan masal, penggunaan teknologi Linier Barrier System dan Trap Barrier System, serta metode hayati dengan memanfaatkan predator alami, yakni burung hantu.
“Burung hantu terbukti sangat efektif dalam mengendalikan populasi tikus secara alami dan berkelanjutan. Namun karena burung hantu tidak bisa membuat sarang sendiri, maka perlu disiapkan rumah burung hantu (rubuha). Idealnya, setiap empat hektar sawah terdapat satu rubuha. Dengan asumsi rata-rata kepemilikan lahan per petani adalah 0,25 hektar, maka cukup 16 orang petani bergotong royong untuk membangun satu rubuha. Untuk efisiensi, rubuha dapat dibuat di pohon-pohon sekitar sawah sehingga tidak memerlukan biaya tiang utama rubuha,”jelas Nurul Qomariyah.
Sementara itu, untuk mengatasi serangan burung pada saat padi mulai berbulir, solusi paling efektif adalah pemasangan jaring ikan di atas pertanaman. Jaring ini dapat digunakan kembali selama beberapa musim tanam, sehingga sangat ekonomis dan ramah lingkungan. Selain itu, penanaman serentak juga menjadi strategi yang sangat dianjurkan, karena semakin luas dan serempak area tanam, semakin kecil kemungkinan burung menyerang satu titik tertentu secara masif.
Kegiatan monitoring dan evaluasi ini tidak hanya menjadi wadah pemetaan tantangan, tetapi juga sekaligus ruang edukasi bagi petani dalam menerapkan pengelolaan tanaman terpadu yang berbasis solusi lokal dan ilmiah.
Diharapkan, semangat optimalisasi lahan ini dapat menjadi contoh di berbagai daerah lain, demi tercapainya cita-cita besar bangsa: Indonesia mandiri pangan, dari sawah rakyat untuk rakyat. Nurhadi/Musdalipah.*
Diterbitkan di lajurpertanian.com dan megapolitannews.com