Pemerintah telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) naik dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 yang berlaku sejak 15 Januari 2025 lalu. Namun sampai saat ini, penyerapan gabah petani tidak sesuai harapan. Bulog dinilai kurang aktif dalam menyerap gabah sehingga tengkulak masih memiliki peran besar dalam mengatur harga.
Disparitas antara nilai HPP dengan harga jual gabah petani di lapangan terjadi di Subak Giri, Desa Bungbungan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Gabah yang dihasilkan Kelompok Tani Subak Giri Tempek Tegeh dihargai Rp 5.600 per kilogram sedangkan Poktan Subak Giri Tempek Tanduk dihargai 5.400 per kilogram. Harga gabah tersebut masih berada di bawah HPP yang ditetapkan pemerintah.
Rini Novianti, penyuluh pendamping di Desa Bumbungan, menuturkan bahwa penyebab dari rendahnya harga gabah yang dibeli oleh tengkulak karena selama ini tidak ada peran Bulog yang turun ke lapangan untuk serap gabah petani atau mitra petani seperti koperasi tani yang berperan sebagai penjamin harga. Hal ini menyebabkan petani lemah dan tidak memiliki daya tawar yang kuat.
“Kami berharap bahwa Bulog turun ke lapangan serap gabah milik petani, agar tidak dibeli oleh tengkulak dengan harga yang sangat rendah,”jelas Rini.
Padahal produktivitasnya terbilang tinggi. Luas panennya mencapai 24,39 hektare dengan produktivitas mencapai 7,267 ton untuk setiap hektarenya.
Ia lantas menambahkan terjadinya kedua lokasi kelompok tani memiliki aksesbilitas dan infrastruktur pendukung yang berbeda. Kelompok tani Subak Giri Tempek memiliki akses lebih baik, sedangkan Poktan Subak Giri Tempek Tanduk memiliki lokasi yang jauh dari akses jalan desa dan tidak memiliki jalan usaha tani. Kondisi ini menyulitkan transportasi hasil panen, sehingga pembeli menawarkan harga lebih rendah, yakni Rp. 5.400/Kg.
“Perbedaan harga GKP di Desa Bungbungan disebabkan oleh perbedaan aksesibilitas dan infrastruktur pendukung. Untuk mencapai harga sesuai HPP, diperlukan perbaikan infrastruktur dan penguatan kelembagaan tani. Yang tak kalah penting juga, peran Bulog untuk turun ke lapangan agar serap gabah milik petani. Dengan upaya ini, kesejahteraan petani di Desa Bungbungan dapat meningkat, “ungkapnya.
Keputusan menaikkan HPP gabah datang langsung dari Presiden Prabowo Subianto pada Rapat Terbatas (Ratas) 30 Desember 2024 lalu. Kebijakan ini direspon positif oleh masyarakat, terutama petani. Meski begitu, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Yadi Sofyan Noor, meminta Bulog untuk lebih fokus menyerap gabah, bukan beras. Kebijakan Bulog yang lebih fokus pada penyerapan beras berpotensi merugikan petani secara langsung.
“Dengan membeli beras, bukan gabah, Bulog melewatkan kesempatan untuk membantu petani mendapatkan harga layak. Petani terpaksa menjual gabah mereka kepada tengkulak dengan harga murah, sementara nilai tambah justru dinikmati oleh pihak lain,” tegasnya.
Kebijakan penyerapan beras ini dinilainya tidak berpihak pada petani, melainkan justru menguntungkan tengkulak dan penggilingan padi yang sering menjadi perantara dalam proses penjualan.
Masalah ini semakin krusial karena harga gabah yang dihasilkan petani menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi pasar, terutama jika tengkulak memainkan peran dominan dalam menentukan harga. Sebaliknya, dengan menyerap gabah langsung dari petani, Bulog dapat menstabilkan harga di tingkat petani dan memastikan mereka mendapatkan keuntungan yang adil.
“Jika petani merasa kerja keras mereka tidak dihargai, produktivitas sektor pertanian bisa terancam. Bagaimana kita bisa mencapai swasembada pangan jika petani terus dirugikan?” tambah Yadi. (*)