Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian melatih 1,9 juta petani, penyuluh, dan bintara pembina desa. Pelatihan ini guna mengantisipasi darurat pangan nasional.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian Dedi Nursyamsi mengatakan, kondisi dunia sedang tidak menentu akibat tensi geopolitik dan perubahan iklim. Dampaknya, produksi pangan global menjadi terganggu. Begitu pula di Indonesia, ikut terpengaruh perubahan iklim.
”Di Indonesia sejak Februari tahun lalu hingga Maret tahun ini, kita mengalami fenomena El Nino, kemarau berkepanjangan,” kata Dedi. Ia mengatakan itu saat membuka Pelatihan Sejuta Petani dan Penyuluh (PSPP) Volume 10 Tahun 2024 dengan tema Gerakan Antisipasi Darurat Pangan Nasional di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (5/6/2024) sore.
Pelatihan diikuti 1.902.354 orang dari target sebanyak 1,8 juta orang. Mereka berasal dari petani 1.823.948 orang, penyuluh pegawai negeri sipil 12.008 orang, penyuluh pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) 7.690 orang, penyuluh tenaga harian lepas (THL) pusat 474 orang, THL daerah 3.184, Babinsa 48.347 orang, dan insan petani lainnya 6.703 orang.
Para petani, penyuluh, dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) itu akan ditingkatkan kapasitasnya terkait bagaimana menanam padi di lahan rawa, menggunakan pompa air di lahan tadah hujan, hingga menanam padi gogo secara tumpang sisip di lahan perkebunan.
Menurut Dedi, pada Maret 2024 petani baru menanam padi di lahan seluas 800.000 hektar atau terjadi kekurangan tanam seluas 300.000 hektar. Untuk mengantisipasi defisit pangan harus dilakukan perluasan tanam dan peningkatan indeks pertanaman.
Kementerian Pertanian kini fokus menggenjot poduksi padi dan jagung melalui optimalisasi lahan rawa, pompanisasi di lahan tadah hujan, dan tumpang sisip padi gogo di lahan perkebunan.
Total ada 2 juta hektar luas lahan yang menjadi sasaran. Lahan tersebut meliputi 500.000 rawa (dari total 34 juta hektar lahan rawa di Indonesia) di 11 provinsi, seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Jambi.
Lahan rawa yang tadinya hanya satu kali tanam diupayakan untuk bisa tanam dua kali setahun dengan perbaikan saluran air dan drainase sehingga saat musim hujan, lahan rawa bisa surut.
Demikian pula dengan 3-4 juta hektar sawah tadah hujan yang selama ini hanya berproduksi satu kali saat musim hujan, kini diupayakan juga bisa tanam di musim kemarau. Total ada 1 juta hektar lahan tadah hujan yang dimanfaatkan, yang mana 500.000 hektar di antaranya berada di Pulau Jawa dan 500.000 hektar di luar Jawa.
”Caranya cari sawah tadah hujan yang dekat sungai. Sumber air permukaan. Cari yang lokasinya tidak sampai 500 meter dari sungai dan tingginya kurang dari 20 meter. Sawah itu akan diairi menggunakan pompa,” ucapnya. Saat ini sudah ada 25.000 pompa yang disebar oleh pemerintah dari target 90.000 pompa air.
Yang ketiga adalah memanfaatkan lahan perkebunan. Bagaimana petani menanam padi gogo secara tumpang sisip di sela-sela tanaman yang ada, seperti sawit, kopi, kakao, hingga kelapa. Gogo bisa tumbuh baik meski ternaungi tanaman lain. Saat ini ada 500.000 hektar program peremajaan sawit rakyat yang bisa dimanfaatkan.
Jika rata-rata tanaman di tiga lokasi itu bisa menghasilkan padi dengan produktivitas 4 ton saja per hektar, ada 8 juta ton gabah kering giling yang dihasilkan atau setara dengan 4 juta ton beras.
”Hal itu akan bisa menutup kekurangan beras kita yang mencapai 3,5 juta ton. Itu yang harus kita lakukan. Kita harus habis-habisan,” ucapnya.
Menurut Dedi, sepanjang 2023 Indonesia masih defisit 3,5 juta ton beras. Produksi beras sepanjang 2023 hanya mampu tembus 30,2 juta ton. Angka itu turun dari tahun 2022 yang mencapai 31,5 juta ton.
Sementara itu, konsumsi beras per kapita warga Indonesia masih tinggi, yakni 119 kilogram per orang per tahun (dari sebelumnya 140 kg per orang per tahun). Angka ini pun lebih tinggi dari Jepang dan Korea yang hanya 60 kg per orang per tahun.
”Kebutuhan konsumsi beras kita tiap bulan tak kurang dari 2,6 juta ton. Artinya, satu tahun ada 31,5 juta ton beras, sedangkan produksi beras nasional 2023 hanya 30,2 juta ton. Artinya, kurang 1 juta ton beras untuk konsumsi sehari-hari, belum termasuk cadangan beras pemerintah. Kekurangan kita tiap tahun 3,5 juta ton beras,” ucapnya.
Untuk menutup kekurangan ini, sebelumnya pemerintah harus mengimpor beras dari negara lain. Sementara banyak negara saat ini enggan mengekspor beras, seperti Vietnam, India, dan Myanmar, dengan alasan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri masing-masing lantaran dunia memang sedang menghadapi masalah pangan.
Kepala BBPP Muhammad Amin mengatakan, pelatihan dilaksanakan 5-7 Juni 2024 secara luring di BBPP Ketindan dan secara daring serentak di Unit Pelaksana Teknis Pelatihan Pertanian, Kantor Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota, Balai Penyuluh Pertanian, dan kantor Koramil di seluruh Indonesia.
Diterbitkan di kompas.id