Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) melalui Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan telah bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk memperbaiki kualitas Apel Malang. Kegiatan ini secara efektif dimulai sejak tahun 2023 utamanya dilakukan di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
Sejak Juli sampai dengan Desember tahun 2023, kegiatan yang dilakukan meliputi koleksi sumber daya genetik (SDG) apel dan uji keragaman, status pertanaman apel, teknologi budidaya presisi, dan bioteknologi melalui gen editing. Sebanyak 16 kombinasi macam pestisida dan pupuk berbasis mikroba telah diujikan dan 5 benih VUB apel, yaitu Rome Beauty, Anna, Manalagi, Huang Lin, dan Royal Red sudah diperoleh dan akan dikoleksi di KKI Purwodadi.
Apel Malang yang diproduksi di wilayah Kota Batu mengalami penurunan jumlah produksi dan kualitas yang signifikan. Kerusakan lahan diperparah dampak perubahan iklim menyebabkan banyak petani apel beralih komoditas usaha, sementara permintaan pasar untuk apel tetap tinggi.
Secara umum, masalah produksi apel di Kota Batu disebabkan oleh ketidakstabilan iklim, serangan hama penyakit, kualitas bibit, harga pasar yang fluktuatif, keterbatasan akses pasar, dan persaingan dengan apel impor.
Pemerintah Kota Batu melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan menyelenggarakan kegiatan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Petani di Kecamatan dan Desa, dengan judul Bimtek Pestisida Nabati sebagai Pestisida Alternatif bagi Petani Apel. Kegiatan Bimtek menjadi salah satu langkah solutif untuk mengatasi serangan hama penyakit secara ramah lingkungan, dengan pertimbangan peningkatan kualitas dan keberlanjutan lahan produksi.
Plt Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembagan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi mengatakan tantangan pembangunan pertanian adalah climate change, degradasi lahan, saprodi terbatas, pupuk kimia mahal, produksi tidak efisien dan menurun.
Kelestarian sumberdaya lahan pertanian dan mutu lingkungan serta keberlanjutan sistem produksi merupakan hal yang kritikal bagi usaha pertanian di negara tropis, termasuk Indonesia.
“Pertanian ramah lingkungan merupakan sistem pertanian yang mengelola seluruh sumber daya pertanian dan input usaha tani secara bijak, berbasis inovasi teknologi untuk mencapai produktivitas berkelanjutan dan secara ekonomi menguntungkan dan berisiko rendah,”kata Dedi.
Sementara itu salah satu narasumber yang hadir dalam kegiatan Bimtek adalah Widyaiswara BBPP Ketindan, Saptini Mukti Rahajeng, membawakan materi tentang budidaya apel melalui pendekatan bioteknologi.
Ajeng, menyampaikan tentang bagaimana petani dapat memanfaatkan strategi budidaya ramah lingkungan, sebagai langkah perbaikan kualitas lahan disamping tetap mempertahankan kegiatan produksi.
Selain perbaikan lahan, strategi ramah lingkungan ditekankan pada pengelolaan hama dan penyakitnya. Tahapan pemeliharaan itu selama ini berkontribusi paling tinggi, sekitar 60%, pada biaya produksi apel. Penggunaan bahan kimia sintetik bagi pengendalian hama penyakit yang kurang bijak, dengan harga bahan kimia sintetik sebagai obat tanaman yang relatif mahal menjadi alasan utama hal itu bisa terjadi. Tentu saja ada dampak lain dari penggunaan obat-obatan sintetik yang kurang bijak, yaitu pencemaran lingkungan dan terganggunya keseimbangan ekosistem pertanaman.
“Bioteknologi direkomendasikan sebagai salah satu solusi menyelesaikan masalah produksi Apel di Batu. Perbaikan kualitas Apel dilakukan dengan lebih cepat melalui teknik rekaya genetik, sementara proses pemeliharaan pertanaman melibatkan bioteknologi konvensional, yang lebih mudah diadopsi oleh petani. Hanya dengan melibatkan penggunaan bahan-bahan alami, hayati atau nabati, pada prakteknya”, papar Ajeng.
Ajeng menambahkan, bahwa strategi pengendalian hama dan penyakit terpadu adalah perwujudan budidaya ramah lingkungan. Komponen yang pertama adalah pengendalian secara kultur teknis dengan memanfaatkan bahan benih berkualitas dan tahan cekaman, pemilihan sistem tanam yang mendukung pengelolaan ekologis praktis sekaligus meningkatkan pendapatan, dan pemanfaatan refugia.
“Berikutnya pengendalian secara fisik dan mekanik, dipilih yang meminimalisir kontak merugikan bagi lahan pertanaman. Dan yang terakhir, pengendalian hayati dan nabati sebagai alternatif pemeliharaan ramah lingkungan, sebelum dilakukan pengendalian menggunakan bahan-bahan sintetik karena serangan sudah tidak dapat teratasi dengan langkah-langkah tadi”,pungkasnya.
Diterbitkan di lajurpertanian.com dan swadayaonline.com